Total Tayangan Halaman

Jumat, 21 Oktober 2011

MASALAH-MASALAH REMAJA

Masalah Remaja Bukan Remaja Bermasalah

OPINI | 28 June 2011 | 13:51 150 37 3 dari 8 Kompasianer menilai inspiratif
Sekitar dua tahun lalu, saat kami melakukan assessment di sebuah pemukiman padat di bilangan Jakarta Selatan, di mana pemukiman tersebut lokasinya persis bersebelahan dengan kompleks perkantoran dan apartemen megah yang dihuni oleh multinational corporation, kami mendapatkan sebuah kondisi seperti di bawah ini.
13092389321738188330
dok. pribadi
Situasi dan kondisi sosial di atas saya pikir sudah tidak asing lagi kita temui di sekitar kita. Namun yang paling penting adalah bahwa kita bisa melihat kenyataan ini dengan memetakan permasalahan sesungguhnya bukan dari apa yang nampak di permukaan saja.
Fakta tersebut di atas merupakan sebuah konsekuensi atas masalah sesungguhnya. Hanya dampaknya saja. Semacam gejala dari sebuah penyakit. Efek samping yang selalu ditanyakan dokter, untuk mendiagnosa, apa penyakit (masalah) sesungguhnya. Karena untuk menyebutkan ‘apa permasalahan’ sesungguhnya, kita perlu bertanya: mengapa kondisi lingkungan begitu buruknya? mengapa muncul persoalan narkoba dan kenakalan anak yang hampir 40%? oleh sebab apa konflik  dan kriminalitas bisa terjadi? mengapa masih ada angka drop out dalam pendidikan kita?
Tulisan ini akan menyoroti mengenai “narkoba dan kenakalan anak” yang menempati peringkat pertama atas suatu kondisi sosial dalam masyarakat kita (lihat chart di atas), yaitu sebesar 39,3%. Untuk itu perlu kita mengetahui terlebih dahulu, siapakah remaja ini.
Masa adolesence adalah masa ‘kebingungan’ seseorang atas apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Secara fisik dan emosi, ia telah berubah dari anak-anak menjadi remaja. Dia belum memahami apa yang teradi pada dirinya. Berikut di bawah ini hasil assessment saya selanjutnya mengenai remaja.
Karakteristik remaja
  1. Mencari identitas diri, dan mengalami kebingungan akan perubahannya
  2. Sangat antusias akan sesuatu yang menarik minatnya
  3. Ingin selalu dilibatkan / diberi tanggung jawab
  4. Sudah mampu menunjukkan / mengembangkan bakatnya
  5. Meningkatnya rasa kemandirian
  6. Ingin di dengar / dihargai opininya, dan mulai berani mengungkapkan ketidaksetujuannya
  7. Emosi yang meledak-ledak
  8. Mulai lebih dekat dengan teman daripada keluarga, dan mulai jarang berada di rumah
  9. Senang meniru perilaku idola
  10. Mulai berani bereksperimen dengan sesuatu yang beresiko.
Setelah memahami karakteristik remaja tersebut di atas, kita juga perlu melihat juga faktor-faktor di luar remaja itu sendiri seperti, bagaimana komunikasi dengan orang tua terjalin. Bagaimana perilaku ortu sehari-hari di rumah, bagaimana intensitas waktu yang disediakan ortu kepada anak-anaknya. Bagaimana dukungan ortu terhadap aktivitas anak-anaknya dan bagaimana intensitas media elektronik yang digunakannya.
Jika kita sebagi ortu hanya sibuk untuk melarang ini itu tanpa menyediakan solusi bagi mereka, ini hanya akan membuat mereka ‘frustasi.’ Mereka dilarang untuk mengakses konten pornografi misalnya tapi mereka juga melihat ortunya malah menyimpan konten pornografi di iPad-nya, dan menontonnya saat ’sidang dewan yang terhormat.’  :)
Ortu hanya bisa mengatakan anaknya nakal tanpa mau mencari akar masalahnya. Seperti halnya cara pemerintah menangani persoalan TKI, pemerintah hanya melihat dari kasus (alm) Ruyati saja. Lalu langkah yang dilakukan adalah moratorium. Pemerintah tidak ‘menyentuh’ akar masalah sesungguhnya dari persoalan TKI tersebut, bahwa melimpahnya SDM dalam negeri harus dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja yang banyak di atas sumber daya alam yang sangat kaya ini. Atau meningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM yang besar ini agar bisa hidup sejahtera di desa tanpa harus ke kota atau ke luar negeri menjadi ‘pekerja kasar.’
Hal ini serupa jika kita melihat sebuah pohon dengan buahnya yang busuk, lalu kita memangkas ranting atau dahan di buah yang busuk tersebut. Padahal kita perlu mengetahui betul bahwa buah yang busuk itu terjadi karena kurangnya pemupukan, akarnya tidak mendapatkan unsur-unsur yang baik untuk pertumbuhan, atau daunnya terserang virus, dan kita tidak melakukan pencegahan atas invasi virus tersebut.
Begitu juga dengan persoalan narkoba pada remaja. Seringkali penanganan yang dilakukan adalah dengan menangkap pengguna atau merehabilitasi para penggunanya. Ini benar, tapi ada akar masalah sesungguhnya, yang tentu saja bermacam-macam penyebabnya. Banyak persoalan-persoalan di masyarakat ini yang diselesaikan bukan dengan mencari akar masalahnya tapi hanya menyelesaikan pada ‘apa yang nampak’ saja. Pada sakit perutnya saja, bukan pada ‘masuk angin’ atau penyakit maag-nya. Pada sakit kepalanya saja bukan pada migren atau sinusitis-nya.
13092438641776604258
Masalahnya bukan di Pornografi, tapi Ketiadaan Rangsangan (Stimulasi) Lain

Aulia Gurdi dalam artikelnya Ketika Virus Pornografi Meracuni ABG-ku, berbagi pengalamannya tentang anaknya yang mulai mengakses konten pornografi di handphone-nya. Konten pornografi saat ini memang sudah tidak bisa dielakkan lagi sangat mudah diakses oleh siapapun juga, tak terkecuali anak-anak sekalipun. Bahkan ustadz atau da’i pun yang sering berkoar-koar antipornografi pun tidak luput dari melihatnya juga. Seperti saya yang ‘mengenal’ Miyabi justru dari MUI yang berteriak-teriak tentang bintang porno tersebut.
Dengan kenyataan demikian, filter pornografi bagi para anak-anak dan remaja bukan lagi seberapa kuat kita melarang anak-anak kita untuk mengaksesnya, melainkan mencoba mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal lain yang juga ‘merangsang’ minatnya. Membuatnya mengeluarkan energi remajanya yang menggelegak terhadap kesibukan lain. Karena memahami anak bukan sekedar melarang ini itu saja, tapi juga mendorong anak kepada suatu minatnya juga.
Beri anak keleluasaan yang besar untuk mengekspresikan kreativitasnya. Biarkan anak me-’ngulik’ segala sesuatu yang memuaskan rasa penasarannya, biarkan energi-nya habis berjam-jam untuk hoby-nya. Yaitu dengan memberikan kebebasan berkespresi kepada anak-anak remaja untuk menuangkan gagasan dan karyanya.
Jangan terlalu cepat mem-vonis ‘anak nakal’ dan menyingkirkan mereka untuk tidak boleh ikut terlibat dalam kegiatan positif di sekolah. Anak yang berperilaku sedikit menyimpang bukanlah ’sakit.’ Mereka hanya menuangkan ekspresinya saja. Ini yang perlu kita pahami bersama.
Jadi kalau kita bisa mem-fasilitasi anak dengan aktivitas yang menjadi minatnya, misalnya dengan alat musik, peralatan seni lukis, ikut kegiatan bela diri, olah raga, atau kegiatan-kegiatan fisik yang agak ekstrim sekali pun (ada resikonya tentu) akan lebih baik dari pada terjerumus ke hal-hal yang lebih parah.
Yang pasti, semakin sibuk dan semakin sulit kegiatan dan memancing rasa penasarannya, semakin banyak waktu yang dihabiskannya pada bidang tertentu, akan meminimalisir waktu si remaja untuk mengakses konten-konten negatif di internet.